BIOGRAFI SINGKAT KH. AHMAD BADRUDDIN
(Pendiri Pondok Pesantren YPI An-Nur Malangbong Garut)
MUQODDIMAH
فا عتبر يا اولي ا لا بصا ر
“Maka jadikanlah olehmu sebagai pelajaran (dari kejadian-kejadian yang telah lalu) wahai orang-orang yang berpandangan luas (Q.S.Al-Hasyr : 3)
القصص الا و لي تنفع لذوي العقول العلي
“Kisah-kisah yang telah lewat sangat bermanfaat
bagi orang-orang berakal yang bermartabat” (Kata Hikmah)
Tulisan singkat ini sengaja saya susun karena himmah saya dan
kecintaan saya terhadap Lembaga Pendidikan yang telah beliau tinggalkan kepada
waritsahnya yang harus dipelihara dan dihudupkan sampai akhir zaman. Juga terdorong dengan beberapa orang
yang sring bertanya kepada penulis, baik dari kalangan mahasiswa, orang tua
murid maupun yang lainnya tentang Almukarrom Pendiri An-Nur tercinta
ini. Maka insya Allah saya akan memaparkan riwayat tersebut sesuai
dengan kemampuan dan segala keterbatasan yang saya alami. Dengan catatan bukan
untuk mengmultuskan seseoarang atau melebih-lebihkannya tanpa batas. Namun
penulis ingin berusaha mewariskan kecintaan kepada sejarah untuk ditelaah,
diteliti dan dijadikan pelajaran di dalam melaksanakan tugas dan mengisi
sejarah ini sesuai dengan motto yang telah saya tulis di atas.
Kita harus mencontoh kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, para Nabi dan para Rasul, para Aulia, para Ulama, para salafush shalih, mujahidin, orang tua dan guru-guru kita sebagai pewaris al-Islam yang paling dekat. Untuk bisa mencontoh, terlebih dahulu kita harus tahu benar riwayat yang akan dicontoh itu.
NAMA, KELAHIRAN, ORANG TUA,
SAUDARA-SAUDARA
ISTERI-ISTERI DAN PUTERA-PUTERANYA
Nama pemberian ayahnya:
Ahmad Badruddin dengan sebutan nama kecil; Ujang. Ayahnya adalah almagfurullah K.H. Abdurrahman bin K.H, Muhammad
Anwar bin K.H.Jalaluddin (Pendiri awal Pesantren Karanganyar). Ibunya adalah almagfurullah Ny.
Raden Siti Rukiyah binti H.Raden Muhammad Ilyas (Eyang Bojong) binti Raden
Surayuda (Wedana Malangbong).
Almagfurullah K.H. Ahmad Badruddin dilahirkan di
Karanganyar, Desa Mekarmulya, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut tahun 1918
M.
Saudara-saudara seayah dan
seibunya adalah Ny.
Isteri-isterinya. Pertama
kali beliau menikah dengan Ny. Eulis puteri K.H.Jalaluddin (Ajengan Pangkalan)
hanya tidak lama dan tidak mempunyai keturunan. Setelah itu beliau mencari ilmu
dan pengalaman. Baru pada tahun 1942 beliau menikah dengan Ny. Hj. Cicih
Marfu’ah binti Muhammad Shobari Karanganyar. Isteri beliau inilah yang sangat
berjasa membantu beliau dalam membangun pesantren, terutama melayani konsumsi
para pegawai, para santri dan para tamu yang selalu berdatangan tiap hari.
Sebelum beliau menikah
dengan isterinya tersebut, beliau pernah berkata kepada saya dengan bahasa
Sunda; “Akang mah rek neangan pimajikaneun teh hayang nu sadia dibawa sangsara,
da akang mah teu boga pangala, jeung anu sadia bajoang” (Abang hanya akan
mencari isteri yang siap untuk hidup sengsara karena Abang tidak punya
penghasilan, dan isteri yang siap berjuang, ed). Cita-cita beliau rupanya
terkabul juga.
Isteri beliau yang ketiga
adalah Ny. Siti Quraisyin binti K.H.Muhammad Nahrawi Karanganyar. Isteri
keempat adalah Ny. Euis binti K.H.Affandi Cipeundey Cinagara Malangbong.
Sepeninggal mertuanya tersebut, beliau memajukan Majelis Ta’lim di Cipeundeuy.
Dan sepeninggal beliau diteruskan oleh adik ipar dan menantunya.
Putera-putri beliau adalah
K. Asep Husen (alm), Ny.
PENGALAMAN PENDIDIKANNYA
Sewaktu kecil, beliau
langsung mendapatkan pendidikan dari Ibu dan Ayah sampai belajar mengaji
al-Qur’an dan sebagainya. Dan ayahanda pernah berwasiat kepada Ua Abdullah;
bila beliau (ayahnya) meninggal, supaya ujang dimasukan ke pesantren untuk
penerus.
Ayahanda meninggal tahun
1930 waktu beliau masih duduk di kelas III Volk Shool (SR pada masa colonial
Belanda). Walaupun pendidikan formal beliau sampai kelas III SR, namun beliau
tetap terus belajar mengaji di bawah asuhan K.H.Muhammad Bukhori dan
sebagainya.
Berkat bimbingan dan
dorongan ayahnya yang kedua (K.Moh. Yusya), beliau pernah belajar di Pesantren
Ciomas Malangbong, Pesantren Ciherang Malangbong, Pesantren Tarogong Garut,
Pesantren Cikelepu Balubur Limbangan, Pesantren Cangkuang Sumedang, dan
Pesantren Jatipamor Majalengka. Karena materi pendidikan pesantren waktu itu
belum menyentuh masalah-masalah mu’amalah (social-politik) akibat politik
penjajah masa itu, maka pada akhir masa penjajahan Belanda atau awal penjajahan
bangsa Jepang, sekitar tahun 1939 – 1940-an beliau tertarik dengan pendidikan
modern yang didirikan oleh Alm. S.M. Kartosuwiryo yaitu Institut Suffah
di Bojong Malangbong (waktu itu Alm. S.M. Kartosuwiryo sebagai Pimpinan
Syarikat Islam di Garut).
Dengan latar belakang
pendidikan Pesantren tradisional dan pendidikan modern tersebut, kecerdasan dan
wawasan beliau semakin berkembang. Terutama setelah beliau faham
(berdebat) dengan Pimpinan Jemaat
Ahmadiyah Qadiyani
Cita-citanya untuk
membangung Pesantren bertambah
terangsang ketika beliau menyaksikan langsung perkelahian antara
kelompok santri salah satu pesantren dengan kelompok pelajar Mulo (zaman
penjajahan Belanda). Pihak pelajar Mulo mencaci habis-habisan kepada kelompok
santri dengan ejekan “santri budug”. Sementara para santri mengejek para
pelajar dengan ejekan; “Anak Belanda anak kafir”, sehingga terjadi
perkelahian (tawuran) di tangah jalan.
Kejadian tersebut sangat
membekas di hati beliau, sehingga beliau sering menceritakan pengalamannya itu
kepada penulis dan teman-teman. Perkelahian antara santri dan pelajar yang
sama-sama beragama Islam dan sama-sama bangsa Indonesia menjadi penambah
dorongan bagi beliau untuk mewujudkan cita-citanya untuk mewujudkan lembaga
pendidikan syamil/menyatu dan terpadu antara pendidikan yang disebut
pengetahuan agama dan pengetahuan umum, karena pemisahan itu adalah siasat kaum
penjajah (Belanda) untuk mencerai-beraikan persatuan bangsa dan ukhuwah
Islamiyah.
Alhamdulillah, dengan modal ketaqwaan beliau disertai do’a ibunda, kesabaran isterinya (Ny.Hj.Cicih Marfu’ah) serta berkat ketekunan beliau membina saudara-saudaranya, anak-anaknya, dan para mantunya, serta Keluarga Besar Ny. Rd. Siti Rukiyah – Keluarga Besar K.H.Jalaluddin, akhirnya cita-cita beliau terkabul. Setelah beliau meninggal, Lembaga Pendidikan yang beliau tinggalkan ini harus dipelihara dan kita kembangkan. Perlu kita sempurnakan sesuai dengan keinginan beliau.
PENGALAMAN BERORGANISASI
Selama beliau belajar di
Institut Suffah, beliau aktif dalam kepanduan SIAP (Syarikat Islam Afdeling
Pandu). Setelah itu, sekitar tahun 1940-an beliau terpilih menjadi Ketua Pemuda
Muslim Indonsia (PMI). Salah satu program kegiatan organisasi tersebut adalah
kursus bahasa asing bagi para pemuda dan para pemudi.
Di samping aktif sebagai
mubaligh yang bertabligh ke desa-desa di wilayah Kecamatan Malangbong, dan
kadang ke daerah-daerah tertentu di luar wilayah Malangbong, beliau pada masa
penjajahan bangsa Jepang dan awal kemerdekaan, aktif menjadi anggota Pengurus MIAI (Majelis Islam
Ala Indonesia) Kecamatan Malangbong. Beliau aktif pula dalam barisan Hizbullah
dan Sabilillah. Di awal masa kemerdekaan, beliau juga aktif sebagai
anggota Pengurus Komite Nasional Indonesia (KNI). Beliau juga pernah menjadi
Pengurus Koperasi Kecamatan Malangbong dan Desa Cihaurkuning Malangbong.
Menjelang Pemilu pertama
di Indonesia (1955) beliau aktif sebagai anggota Pengurus Partai Masyumi
sekaligus menjadi Panitia Pemilu untuk wilayah Kecamatan Malangbong, dan yang
paling beliau minati sejak tahun 1949/1950 adalah aktif dalam organisasi
pendidikan. Sebagai Ketua PGII (Persatuan Guru Islam Indonesia) Anak Cabang
Malangbong dengan pokok program kegiatan membina 30 Madrasah Diniyah
se-Kecamatan Malangbong dan kursus Pembinaan Guru-guru Madrasah seminggu sekali
bertempat (meminjam) di SDN Malangbong II, sementara penulis sebagai
Sekretarisnya.
Dalam pembinaan umat,
sampai tahun 90-an, beliau sebagai Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Kecamatan Malangbong. Hanya sayang pada pertengahan masa Orde Baru kegiatan
tersebut sangat dibatasi (diisolir) oleh Pemerintah pada waktu itu, sehingga
terasa kegiatan Ulama/Dakwah/Ukhuwah Islamiyah mengambang. Luka ini masih
terasa sampai sekarang yang patut menjadi perhatian para Da’I untuk
mementingkan reformasi bidang ukhuwah Islamiyah.
Pada tahun 60-an, beliau
aktif sebagai Ketua Penasihat PII Cabang Malangbong. Kadang-kadang waktu itu
timbul sikap dan tindakan yang memancing emosional dari pengurus organisasi pemuda lain yang menjurus pada bentrokan fisik.
Namun hal tersebut dapat beliau islahkan, sesuai dedngan cita-cita menuju
Ukhuwah Islamiyah.
Pada tahun 60-an, karena
ada peraturan Pemerintah (Depag RI) bahwa madrasah yang resmi harus menginduk
kepada salah satu organisasi atau Yayasan, maka melalui musyawarah dengan para
Pengurus Pesantren, pemuka masyarakat dan wali murid, maka madrasah di
lingkungan Pondok Pesantren Karanganyar bergabung ke organisasi PUI (MWB- PUI
dan PGA PUI). Selanjutnya beliau mendapat kepercayaan menjadi Ketua Pengurus
PUI Cabang Malangbong dan meresmikan madrasah-madrasah di luar Kampung
Karanganyar namun masih di wilayah Kecamatan Malangbong yang sekarang dalam
binaan YPI An-Nur (9 MI, 3 MTs, dan 1 MA).
Sejak sekitar tahun 70-an,
karena banyak reaksi yang tiddak menguntungkan dan mengundang perpecahan,
akibat kekurang fahaman beberapa pemuka agama setempat terhadap organisasi PUI,
akhirnya beliau bermusyawarah dengan Dewan Pengurus, dan beliau mengeluarkan
fatwa; “Kita jangan kultus organisasi dan harus suka mengalah untuk mencari
kemenangan menuju ukhuwah Islamiyah yang menyeluruh”. Maka sejak itu PUI
Cabang Malangbong dibekukan dan melepaskan atribut organisasi PUI atas seluruh
madrasah di lingkungan PUI Cabang Malangbong. Kemudian beliau menjadikan
seluruh asset pendidikan ini menjadi Lembaga Pendidikan Islam An-Nur (LPI
An-Nur).
Pada tahun 1980, atas
keinginan beliau dan dorongan dari para pencinta pendidikan, guna meningkatkan
pembinaan dan memayungi asset pendidikan di lingkungan LPI An-Nur ditingkatkan
untuk berbadan hokum dengan nama YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AN-NUR dengan Akta
Notaris No. 56 Tanggal 22 Mei 1980 via Notaris Susana Zakariya, S.H.,
MEMBANGUN PESANTREN DENGAN PENUH
PENDERITAAN
DAN TANTANGAN
Sebelum pemerintahan
Jepang, beliau pernah bekerja di perkebunan Belanda di Pacet Cianjur. Pada
permulaan Jepang menjajah negeri ini, beliau pulang kampong. Pada waktu itulah
beliau disuruh ibu untuk menunggui Masjid, dengan kata-kata: “Lamun hidep
hayang didu’akeun ku ema, tungguan Masjid” (maksudnya Masjid yang menjadi
pusat kegiatan Pesantren An-Nur, Karanganyar, ed). Sejak itulah (1942), beliau
bermukim di Karanganyar mengajar ngaji anak-anak di Masjid yang secara fisik
bangunan sangat darurat. Berlantai palupuh dan berdinding bambu.
Dalam situasi yang sangat
memprihatinkan beliau tidak putus asa, didampingi isterinya yang saat taat dan
sabar. Pada zaman sulit itu, yang menjadi makanan pokok jagung dan ubi kayu.
Kalau ubi
kayu dan jagung tidak ada, rebus pisang dengan lalab (dedaunan) pun
jadi. Penulis sendiri ikut mengalaminya. Waktu anak sulung beliau, alm K.Asep
Husen masih bayi, sering ibunya yang merasa lapar hanya diberi air dan gula
aren.
Tantangan dari pihak
masyarakat luar pun tidak jarang terjadi, setelah beliau mengadakan pengajian
umum seminggu sekali. Hal itu terjadi, karena pada masa itu di tengah-tengah
kehidupan masyarakat masih banyak hal-hal atau kebiasaan-kebiasan yang
dipandang menyalahi dan bertentangan dengan ajaran Islam, beliau rubah secara berangsur-angsur.
Misalnya kepercayaan kepada Nyi Sri (Dewi Sri), membuat sesajen waktu motong
padi atau waktu kenduri, dan sebagainya. Semua beliau berantas dengan penuh
bijak sana.
Bahkan ada seseorang yang
fanatic kepada adat pernah marah kepada beliau pada suatu pengajian umum dan
menantang beliau untuk berlaga adu kekuatan. Namun beliau tidak menjawab, dan
beliau hanya memberikan contoh-contoh dan penjelasan yang sangat bijaksana.
Dalam cara-cara ibadat pun
yang dianggap perlu, terus beliau luruskan. Misalnya shalat berjama’ah Rabu
wekasan (hari Rabu terakhir di bulan Sofar, ed), shalat berjama’ah nisfu
Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban, ed) dan shalat mu’adah setelah shalat
Jum’at. Demikian juga mengenai kebiasaan shalat tarawih bulan Ramadhan, beliau
menegaskan supaya jangan terlampau cepat dan kebiasaan ramai-ramai sambil
main-main harus dirubah. Pada khutbah Jum’at beliau terjemahkan dan diikuti
oleh khatib lainnya. Beliau juga selalu menganjurkan untuk membiasakan shalat tahajud,
maka di Masjid Jamie An-Nur sampai sekarang biasa dilakukan adzan awal
sebelum shubuh, sekalipun di masjid lain belum biasa.
Itulah ketekunan dan
kesabaran beliau membangun Pesantren ini. Sejak beliau mengajar di Masjid yang
telah reyot, dengan memakai alat tulis jarangking (gaplek) sebagai
pengganti kapur tulis, sementara yang dijadikan papan tulisnya adalah pintu.
Beberapa lama kemudian, untuk membuat papan tulis, beliau bersama saudaranya
(penulis, M. Thaha, IHA Syarifuddin dan O. Sambas) mengambil kayu dadap dari
daerah Bakom Malangbong. Kayu tersebut diolah sendiri sama beliau, sedang yang
dijadikan catnya terbuat dari racikan arang, daun papaya dan minyak tanah.
Kemudian secara berangsur-angsur beliau membuat pondok sederhana, Madrasah
Diniyah/Ibtidaiyah dan Majelis Ta’lim.
Setelah banyak guru yang
membantu, maka dibangunlah Pesantren system terpadu. Pada malam hari para
santri belajar di Pondok, siang hari belajar di Madrasah (MTs/PGA). Beliau
sendiri aktif mengajar langsung baik di Pondok maupun di Madrasah (PGA), bahkan
waktu itu para pelajar PGA diwajibkan tinggal di Asrama (Pondok). Pada tahun
1970 para santri ikut ujian Negara PGAA Negeri di Garut, dan lulus 100 %.
Kendatipun kehidupan
ekonomi waktu itu sangat sulit (krisis ekonomi), namun beliau tidak pernah putus
asa dan tidak tergoda dengan tawaran kedudukan atau kekayaan. Misalnya, pada
tahun 50-an, pernah beliau ditawari menjadi Kepala Inpeksi Pendidikan Agama
Kabupaten Purwakarta, namun beliau tolak. Setelah itu, pernah pula ketika
beliau bersama penulis shilaturrahim ke Majalengka, beliau ditawari sebidang
tanah (disuruh pindah) ke daerah tersebut dan segala fasilitas akan disediakan.
Namun beliau tidak mau, karena beliau sangat menghormati yang menyuruh
menunggui Masjid di Karanganyar (Ibunya). Beliau sangat hormat kepada Ibu,
hatta sebelum bepergian ke manapun,
beliau selalu minta izin dan do’anya kepada Ibu.
Sungguhpun demikian,
kepada adik-adik beliau yang laki-laki (termasuk kepada penulis), beliau
menyuruh bekerja menjadi guru dinas (Pegawai Negeri). Selain untuk mencari
nafkah, beliau amanat bahwa penulis harus bekerja tetapi ingat: “Jangan
mencari ‘karir’ di Pemerintahan, tetapi dengan maksud untuk mencari pengalaman
sebagai bekal untuk kemajuan kita, meneruskan perjuangan orang tua”.
Selain daripada itu, untuk mengetahui pengalaman/perbandingan dari lembaga pendidikan yang telah dipandang maju, beliau tidak menutup diri. Sehingga pada tahun 1964, beliau pernah mengutus penulis untuk meninjau ke Pondok Pesantren Modern Darusslam Gontor Ponorogo Jawa Timur, untuk meningkatkan administrasi, penerapan disiplin, shalat berjama’ah, penerapan bahasa Arab dan sebagainya.
KETEGUHAN DALAM PENDIRIAN, KEULETAN, DAN KESABARANNYA
Sekalipun banyak alim
ulama yang meninggalkan kampong (Pesantren) untuk ikut dalam gerakan Darul
Islam di gunung, beliau tidak mau pergi meninggalkan Pesantren, sekalipun
pernah dijemput oleh gurunya dari daerah Sumedang. Beliau memberikan jawaban;
“Tujuan kita sama, tetapi caranya berbeda”. Padahal beliau pernah menjabat
sebagai Kepala Penerangan DI untuk wilayah Malangbong Selatan. Pilihan beliau
untuk tidak ikut-ikutan masuk hutan juga didasarkan kepada Al-Qur’an Surat
al-Taubah [9]: 122 yang berbunyi:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
Beliau bergeming, tidak
mau meninggalkan Pesantren. Beliau tetap istiqamah dan bersabar dengan penuh
bijaksana dan keuletan mampu menyikapi
keadaan yang kehidupan social politik
yang serba sulit waktu itu. Hanya pada situasi sangat genting sekali karena
sering dicari-cari orang Belanda, beliau pernah mengungsi di Cipaganti Bandung
bersama paman (Raden Anwar Barjah) dari Bojong. Namun tidak lama di
pengungsian, karena beliau disuruh oleh ibu harus segera pulang, dan penulis
sendiri yang menjemputnya ke Bandung. Karena beliau sangat taat kepada Ibu,
sekalipun dirasakan sangat berat, beliau pulang untuk membangun pesantren ini.
Maka ketika Ibu wafat tahun 1980, Ibu insya Allah merasa bahagia,
karena amanatnya selalui ditaati oleh putera terbesarnya. Karena dengan washilah
beliau selaku Pimpinan Pesantren juga berhasil membimbing adik-adiknya,
anak-anaknya serta keponakannya dengan tekun,
sabar dan bijaksana, yang
kemudian hasil binaan beliau didorong untuk bersama-sama membantu beliau
membina Pesantren ini dengan penuh keikhlasan dan penuh rasa tanggung jawab.
Kesabaran beliau dalam
menghadapi segala cobaan hendaknya patut diteladani. Selain tekanan ekonomi
yang tidak menguntungka, kadang cobaan dan tantangan datang dari teman
seperjuangannya. Kalau ada yang mencaci maki, beliau balas dengan senyuman.
Kalau ada yang menjauhi, beliau balas dengan silaturrahim. Beliau tegas dalam
mempertahankan prinsif, namun beliau moderat dan toleran dalam masalah-masalah
furu’iyah atau kemasyarakatan.
Keistimewaan dalam aspek ubudiyahnya, yang penulis tahu sejak beliau muda, beliau sangat mengutamakan bangun malam (shalat tahajud) dan wirid al-Qur’an. Hal ini sering beliau wanti-wanti kepada para guru, para orang tua dan para santri tentang pentingnya shalat berjama’ah dan shalat tahajud tersebut. Keteguhan beliau dalam bidang ini, pernah pada masa awal kemerdekaan, karena pimpinan rapat organisasi melalaikan shalat, beliau mengancam akan keluar dari organisasi tersebut bila Pimpinan Rapat melalaikan shalat. Akhirnya Pimpinan Rapat tunduk kepada beliau.
CITA-CITA NAIK HAJI
Sekitar tahun 80-an,
beliau bercita-cita untuk dapat melaksanakan ibadah haji, namun Allah Subhanahu
wa Ta’alaa belum segera mentaqdirkannya. Sekalipun ada tanah yang akan dijual
(untuk ongkos keberangkatan haji tersebut), namun gagal lagi gagal lagi.
Akhirnya beliau mendapat rezeki yang tidak disangka-sangka sebelumnya, sehingga
pada tahun 1982 beliau terlaksana naik haji
bersama isteri dan anak laki-laki kedua (K.H.Deden Muhammad Ilyas, BA,
S.Pdi). Menurut rencananya, anaknya tersebut supaya mukim (belajar) di Makkah,
namun karena kondisi kesehatannya kurang mengizinkan, hal ini tidak terlaksana.
Sebelum beliau naik haji,
beliau berbicara kepada anak-anaknya supaya jangan ada yang iri hati kepada
Deden dibawa ke tanah suci, karena ia yang sangat diharapkan untuk menjadi
penerus beliau di Pesantren.
Sekembalinya beliau dari Makkah, kegiatan beliau yang langsung mengajar dikurangi dan mengaktifkan putera penerusnya tersebut bersama menantu beliau yang sejak lama membantunya membina (mengajar) di Pesantren (K. Atang Jamaluddin).
SAAT-SAAT AKHIR HAYATNYA
Dalam keadaan fisik beliau
yang semakin melemah dan sering sakit-sakitan, semangat untuk membangun tetap
nampak untuk dicontoh generasi penerusnya. Bangunan yang terakhir beliau bangun
dan beliau tinggalkan adalah Mushala An-Nur di komplek MTs/MA/Asrama Puteri
yang peruntukan kegiatan ibadah shalat warga Asrama Puteri, para santri/pelajar
MTs/MA serta warga sekitar. Dan terakhir sekali beliau mengusahakan membeli
tanah di lokasi Andir Desa Campaka (Gerbang menuju Pesantren) dengan para
pengumpul dana Bapak H. Sirod Krisubanu, SH (alm), Bapak H. Syarif Hidayat
(alm), Bapak Agus Syamsuddin (alm), Bapak Ade Saefuddin dan Bapak Aang Ali
Muhammad.
Penulis masih ingat ketika
akan serah terima tanah tersebut. Karena beliau sedang dalam keadaan sakit dan
baring di tempat tidur. Semula serah terima akan dilakukan di tempat lain
(diwakili) supaya tidak mengganggu beliau. Tetapi beliau tetap berkeinginan
menyaksikan langsung serah terima tanah tersebut. Bahkan beliau masih sempat
memaksakan berbicara pada acara serah terima tersebut.
Itulah himmah beliau terhadap lembaga pendidikan ini yang harus kita contoh sampai akhir zaman. Akhirnya, walaupun kita keluarga hanya berkeinginan untuk terus dalam bimbingan beliau, namun Allah lah yang menentukan segalanya. Beliau berpulang kepangkuan-Nya pada hari Rabu tanggal 18 Ramadhan 1419 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 6 Januari 1999 Miladiyah pukul 17.25 WIB. Inna lillahi wa inna ilaiyhi raaji’uun (sesungguhnya kita semua milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya kita akan kembali).
PENUTUP
Catatan ini sumbernya dari penulis sendiri yang
selalu dekat dan mendampingi beliau. Bahkan pada masa awal beliau mukim di
Karanganyar, penulis pernah serumah dengan beliau. Untuk membantu beliau, di
dapur, di sawah, di kebun dan sebagainya. Maka banyak cerita-cerita beliau yang
penulis dengan langsung atau akhlak beliau yang penulis saksikan langsung. Pada
tahun 1947, penulis pun membantu beliau mengajar di madrasah Diniyah, juga
berdasarkan cerita-cerita dari kakak-kakak penulis yang masih ada.
Selanjutnya, penulis
menyadari atas segala keterbatasan dan kelemahan penulis dalam menyusun catatan
singkat ini, tiada lain penulis mohon ma’af yang sebesar-besarnya dari semua
pembaca catatan ini. Dan terima kasih bila ada pihak keluarga yang ingin
menyempurnakannya.
Dan kesan penulis
selanjutnya, sebagaimana telah dikemukakan pada mukoddimah, “Tiada maksud
melebih-lebihkan sesorang tanpa batas” atau “Agul ku paying butut”, namun
harapan penulis ingin melestarikan kebaikan-kebaikan orang tua kita sampai
akhir zaman.
Marilah kita berdo’a, bila
ada kekeliruan beliau, semoga diampuni Allah Subhanahu wa Ta’alaa, dan
jasa baiknya semoga diterima di sisi-Nya. Amin ya rabbal ‘alamiin.
Dan yang lebih penting
dari itu, marilah kita bercermin kepada segala jejak langkah beliau, agar kita
bisa meneruskan langkah dan pendirian istiqamah untuk melestarikan dan
mengestafetkan “An-Nur” sampai akhir zaman.
Insya Allah, dengan
bercermin kepada keshalihan Orang Tua yang telah mendahului kita, kita pun
ingin berbuat kesalihan seperti Orang Tua dan harus mengikhtiarkan kesalihan
itu di mana saja kita berada. Karena kita akan meraih kemaslahatan, kedamaian
dan kebahagiaan di mana saja kita berada. Karena kita tidak akan dapat meraih
kemaslahatan, kedamaian dan kebahagiaan yang diridhai Allah Subhanahu wa
Ta’alaa.tanpa memperhatikan dan mencontoh jejak langkah orang shalih
pendahulu kita, sebagaimana yang dikatakan salah seorang Imam Mujtahidin:
لا يصلح ا خر هذ ه الا
مة الا بما صلح به اولها
Wallahu ‘alam bish shawaab.
“Selamat berjuang, selamat
menghidupkan Izzul Islam wal Muslimin An-Nur ini”, khususnya kepada keluarga besar K.H.
Muhammad Jalaluddin, dan umumnya kepada segenap kaum muslimin.
Karanganyar, Syawal 1436 H.
Agustus 2015 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung di blog sederhana ini.
Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.
Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.