Rabu, 04 November 2020

BIOGRAFI SINGKAT KH. AHMAD BADRUDDIN

loading...

BIOGRAFI SINGKAT KH. AHMAD BADRUDDIN
(Pendiri Pondok Pesantren YPI An-Nur Malangbong Garut)

Penulis : K. A Saefuddin Abdurrahman



MUQODDIMAH 

فا عتبر يا اولي ا لا بصا ر

Maka jadikanlah olehmu sebagai pelajaran (dari kejadian-kejadian yang telah lalu) wahai orang-orang yang berpandangan luas (Q.S.Al-Hasyr : 3) 

القصص الا و لي تنفع لذوي العقول العلي

“Kisah-kisah yang telah lewat sangat bermanfaat bagi orang-orang berakal yang bermartabat” (Kata Hikmah)

Tulisan singkat ini sengaja saya susun karena himmah saya dan kecintaan saya terhadap Lembaga Pendidikan yang telah beliau tinggalkan kepada waritsahnya yang harus dipelihara dan dihudupkan sampai akhir zaman. Juga terdorong dengan beberapa orang yang sring bertanya kepada penulis, baik dari kalangan mahasiswa, orang tua murid maupun yang lainnya tentang Almukarrom Pendiri An-Nur tercinta ini. Maka insya Allah saya akan memaparkan riwayat tersebut sesuai dengan kemampuan dan segala keterbatasan yang saya alami. Dengan catatan bukan untuk mengmultuskan seseoarang atau melebih-lebihkannya tanpa batas. Namun penulis ingin berusaha mewariskan kecintaan kepada sejarah untuk ditelaah, diteliti dan dijadikan pelajaran di dalam melaksanakan tugas dan mengisi sejarah ini sesuai dengan motto yang telah saya tulis di atas.

Kita harus mencontoh kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, para Nabi dan para Rasul, para Aulia, para Ulama, para salafush shalih, mujahidin, orang tua dan guru-guru kita sebagai pewaris al-Islam yang paling dekat. Untuk bisa mencontoh, terlebih dahulu kita harus tahu benar riwayat yang akan dicontoh itu.


NAMA, KELAHIRAN, ORANG TUA, SAUDARA-SAUDARA
ISTERI-ISTERI DAN PUTERA-PUTERANYA



Nama pemberian ayahnya: Ahmad Badruddin dengan sebutan nama kecil; Ujang. Ayahnya adalah almagfurullah K.H. Abdurrahman bin K.H, Muhammad Anwar bin K.H.Jalaluddin (Pendiri awal Pesantren Karanganyar). Ibunya adalah almagfurullah  Ny. Raden Siti Rukiyah binti H.Raden Muhammad Ilyas (Eyang Bojong) binti Raden Surayuda (Wedana Malangbong).

Almagfurullah K.H. Ahmad Badruddin dilahirkan di Karanganyar, Desa Mekarmulya, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut tahun 1918 M.

Saudara-saudara seayah dan seibunya adalah Ny. Maemunah, Ny. Epon Mariyah, Ny. Apun Mutmainah dan Ase Saefuddin (penulis). Sedangkan saudara seibunya (dari K.H.Muhammad Yusya) adalah Mohammad Thaha, IHA Syarifuddin dan Obos Sambas.

Isteri-isterinya. Pertama kali beliau menikah dengan Ny. Eulis puteri K.H.Jalaluddin (Ajengan Pangkalan) hanya tidak lama dan tidak mempunyai keturunan. Setelah itu beliau mencari ilmu dan pengalaman. Baru pada tahun 1942 beliau menikah dengan Ny. Hj. Cicih Marfu’ah binti Muhammad Shobari Karanganyar. Isteri beliau inilah yang sangat berjasa membantu beliau dalam membangun pesantren, terutama melayani konsumsi para pegawai, para santri dan para tamu yang selalu berdatangan tiap hari.

Sebelum beliau menikah dengan isterinya tersebut, beliau pernah berkata kepada saya dengan bahasa Sunda; “Akang mah rek neangan pimajikaneun teh hayang nu sadia dibawa sangsara, da akang mah teu boga pangala, jeung anu sadia bajoang” (Abang hanya akan mencari isteri yang siap untuk hidup sengsara karena Abang tidak punya penghasilan, dan isteri yang siap berjuang, ed). Cita-cita beliau rupanya terkabul juga.

Isteri beliau yang ketiga adalah Ny. Siti Quraisyin binti K.H.Muhammad Nahrawi Karanganyar. Isteri keempat adalah Ny. Euis binti K.H.Affandi Cipeundey Cinagara Malangbong. Sepeninggal mertuanya tersebut, beliau memajukan Majelis Ta’lim di Cipeundeuy. Dan sepeninggal beliau diteruskan oleh adik ipar dan menantunya.

Putera-putri beliau adalah K. Asep Husen (alm),  Ny. Adah Sa’adah, Ny. Ihat Prihatin, Ny. Didah, K.H.Deden Muhammad Ilyas,S.Pdi (Pengasuh Pondok Pesantren sepeninggal beliau), Abdul Malik, S.Ag., Ny.K.R. Habibah (dari isteri kedua). Ny. Mamah (dari isteri ketiga), Ny. Neneng, Ny. Anjar,dan Ny. Siti Rukiyah (dari isteri keempat). 


PENGALAMAN PENDIDIKANNYA 

Sewaktu kecil, beliau langsung mendapatkan pendidikan dari Ibu dan Ayah sampai belajar mengaji al-Qur’an dan sebagainya. Dan ayahanda pernah berwasiat kepada Ua Abdullah; bila beliau (ayahnya) meninggal, supaya ujang dimasukan ke pesantren untuk penerus.

Ayahanda meninggal tahun 1930 waktu beliau masih duduk di kelas III Volk Shool (SR pada masa colonial Belanda). Walaupun pendidikan formal beliau sampai kelas III SR, namun beliau tetap terus belajar mengaji di bawah asuhan K.H.Muhammad Bukhori dan sebagainya.

Berkat bimbingan dan dorongan ayahnya yang kedua (K.Moh. Yusya), beliau pernah belajar di Pesantren Ciomas Malangbong, Pesantren Ciherang Malangbong, Pesantren Tarogong Garut, Pesantren Cikelepu Balubur Limbangan, Pesantren Cangkuang Sumedang, dan Pesantren Jatipamor Majalengka. Karena materi pendidikan pesantren waktu itu belum menyentuh masalah-masalah mu’amalah (social-politik) akibat politik penjajah masa itu, maka pada akhir masa penjajahan Belanda atau awal penjajahan bangsa Jepang, sekitar tahun 1939 – 1940-an beliau tertarik dengan pendidikan modern yang didirikan oleh Alm. S.M. Kartosuwiryo yaitu Institut Suffah di Bojong Malangbong (waktu itu Alm. S.M. Kartosuwiryo sebagai Pimpinan Syarikat Islam di Garut).

Dengan latar belakang pendidikan Pesantren tradisional dan pendidikan modern tersebut, kecerdasan dan wawasan beliau semakin berkembang. Terutama setelah beliau faham (berdebat)  dengan Pimpinan Jemaat Ahmadiyah Qadiyani Indonesia. Bahkan beliau pernah ditawari (dibujuk) akan disekolahkan di Pakistan, namun beliau menolak, karena dalam bidang aqidah beliau sangat tidak setuju dengan faham Ahmadiyah tersebut. Dan beliau punya perhitungan, kalau disekolahkan oleh Ahmadiyah tentu akhirnya akan dijadikan mubaligh Jemaat Ahmadiyah. Selain dari itu, karena beliau selalu ingat dengan keinginan orangtua untuk menjadi kader penerus Pesantren di Karanganyar.

Cita-citanya untuk membangung Pesantren bertambah  terangsang ketika beliau menyaksikan langsung perkelahian antara kelompok santri salah satu pesantren dengan kelompok pelajar Mulo (zaman penjajahan Belanda). Pihak pelajar Mulo mencaci habis-habisan kepada kelompok santri dengan ejekan “santri budug”. Sementara para santri mengejek para pelajar dengan ejekan; “Anak Belanda anak kafir”, sehingga terjadi perkelahian (tawuran) di tangah jalan.

Kejadian tersebut sangat membekas di hati beliau, sehingga beliau sering menceritakan pengalamannya itu kepada penulis dan teman-teman. Perkelahian antara santri dan pelajar yang sama-sama beragama Islam dan sama-sama bangsa Indonesia menjadi penambah dorongan bagi beliau untuk mewujudkan cita-citanya untuk mewujudkan lembaga pendidikan syamil/menyatu dan terpadu antara pendidikan yang disebut pengetahuan agama dan pengetahuan umum, karena pemisahan itu adalah siasat kaum penjajah (Belanda) untuk mencerai-beraikan persatuan bangsa dan ukhuwah Islamiyah.

Alhamdulillah, dengan modal ketaqwaan beliau disertai do’a ibunda, kesabaran isterinya (Ny.Hj.Cicih Marfu’ah) serta berkat ketekunan beliau membina saudara-saudaranya, anak-anaknya, dan para mantunya, serta Keluarga Besar Ny. Rd. Siti Rukiyah – Keluarga Besar K.H.Jalaluddin, akhirnya cita-cita beliau terkabul. Setelah beliau meninggal, Lembaga Pendidikan yang beliau tinggalkan ini harus dipelihara dan kita kembangkan. Perlu kita sempurnakan sesuai dengan keinginan beliau.


PENGALAMAN BERORGANISASI 



Selama beliau belajar di Institut Suffah, beliau aktif dalam kepanduan SIAP (Syarikat Islam Afdeling Pandu). Setelah itu, sekitar tahun 1940-an beliau terpilih menjadi Ketua Pemuda Muslim Indonsia (PMI). Salah satu program kegiatan organisasi tersebut adalah kursus bahasa asing bagi para pemuda dan para pemudi.

Di samping aktif sebagai mubaligh yang bertabligh ke desa-desa di wilayah Kecamatan Malangbong, dan kadang ke daerah-daerah tertentu di luar wilayah Malangbong, beliau pada masa penjajahan bangsa Jepang dan awal kemerdekaan, aktif  menjadi anggota Pengurus MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) Kecamatan Malangbong. Beliau aktif pula dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah. Di awal masa kemerdekaan, beliau juga aktif sebagai anggota Pengurus Komite Nasional Indonesia (KNI). Beliau juga pernah menjadi Pengurus Koperasi Kecamatan Malangbong dan Desa Cihaurkuning Malangbong.

Menjelang Pemilu pertama di Indonesia (1955) beliau aktif sebagai anggota Pengurus Partai Masyumi sekaligus menjadi Panitia Pemilu untuk wilayah Kecamatan Malangbong, dan yang paling beliau minati sejak tahun 1949/1950 adalah aktif dalam organisasi pendidikan. Sebagai Ketua PGII (Persatuan Guru Islam Indonesia) Anak Cabang Malangbong dengan pokok program kegiatan membina 30 Madrasah Diniyah se-Kecamatan Malangbong dan kursus Pembinaan Guru-guru Madrasah seminggu sekali bertempat (meminjam) di SDN Malangbong II, sementara penulis sebagai Sekretarisnya.

Dalam pembinaan umat, sampai tahun 90-an, beliau sebagai Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Malangbong. Hanya sayang pada pertengahan masa Orde Baru kegiatan tersebut sangat dibatasi (diisolir) oleh Pemerintah pada waktu itu, sehingga terasa kegiatan Ulama/Dakwah/Ukhuwah Islamiyah mengambang. Luka ini masih terasa sampai sekarang yang patut menjadi perhatian para Da’I untuk mementingkan reformasi bidang ukhuwah Islamiyah.

Pada tahun 60-an, beliau aktif sebagai Ketua Penasihat PII Cabang Malangbong. Kadang-kadang waktu itu timbul sikap dan tindakan yang memancing emosional dari pengurus organisasi pemuda  lain yang menjurus pada bentrokan fisik. Namun hal tersebut dapat beliau islahkan, sesuai dedngan cita-cita menuju Ukhuwah Islamiyah.

Pada tahun 60-an, karena ada peraturan Pemerintah (Depag RI) bahwa madrasah yang resmi harus menginduk kepada salah satu organisasi atau Yayasan, maka melalui musyawarah dengan para Pengurus Pesantren, pemuka masyarakat dan wali murid, maka madrasah di lingkungan Pondok Pesantren Karanganyar bergabung ke organisasi PUI (MWB- PUI dan PGA PUI). Selanjutnya beliau mendapat kepercayaan menjadi Ketua Pengurus PUI Cabang Malangbong dan meresmikan madrasah-madrasah di luar Kampung Karanganyar namun masih di wilayah Kecamatan Malangbong yang sekarang dalam binaan YPI An-Nur (9 MI, 3 MTs, dan 1 MA).

Sejak sekitar tahun 70-an, karena banyak reaksi yang tiddak menguntungkan dan mengundang perpecahan, akibat kekurang fahaman beberapa pemuka agama setempat terhadap organisasi PUI, akhirnya beliau bermusyawarah dengan Dewan Pengurus, dan beliau mengeluarkan fatwa; “Kita jangan kultus organisasi dan harus suka mengalah untuk mencari kemenangan menuju ukhuwah Islamiyah yang menyeluruh”. Maka sejak itu PUI Cabang Malangbong dibekukan dan melepaskan atribut organisasi PUI atas seluruh madrasah di lingkungan PUI Cabang Malangbong. Kemudian beliau menjadikan seluruh asset pendidikan ini menjadi Lembaga Pendidikan Islam An-Nur (LPI An-Nur).

Pada tahun 1980, atas keinginan beliau dan dorongan dari para pencinta pendidikan, guna meningkatkan pembinaan dan memayungi asset pendidikan di lingkungan LPI An-Nur ditingkatkan untuk berbadan hokum dengan nama YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AN-NUR dengan Akta Notaris No. 56 Tanggal 22 Mei 1980 via Notaris Susana Zakariya, S.H., Bandung. 


MEMBANGUN PESANTREN DENGAN PENUH PENDERITAAN
DAN TANTANGAN 

Sebelum pemerintahan Jepang, beliau pernah bekerja di perkebunan Belanda di Pacet Cianjur. Pada permulaan Jepang menjajah negeri ini, beliau pulang kampong. Pada waktu itulah beliau disuruh ibu untuk menunggui Masjid, dengan kata-kata: “Lamun hidep hayang didu’akeun ku ema, tungguan Masjid” (maksudnya Masjid yang menjadi pusat kegiatan Pesantren An-Nur, Karanganyar, ed). Sejak itulah (1942), beliau bermukim di Karanganyar mengajar ngaji anak-anak di Masjid yang secara fisik bangunan sangat darurat. Berlantai palupuh dan berdinding bambu.

Dalam situasi yang sangat memprihatinkan beliau tidak putus asa, didampingi isterinya yang saat taat dan sabar. Pada zaman sulit itu, yang menjadi makanan pokok jagung dan ubi kayu. Kalau ubi kayu dan jagung tidak ada, rebus pisang dengan lalab (dedaunan) pun jadi. Penulis sendiri ikut mengalaminya. Waktu anak sulung beliau, alm K.Asep Husen masih bayi, sering ibunya yang merasa lapar hanya diberi air dan gula aren.

Tantangan dari pihak masyarakat luar pun tidak jarang terjadi, setelah beliau mengadakan pengajian umum seminggu sekali. Hal itu terjadi, karena pada masa itu di tengah-tengah kehidupan masyarakat masih banyak hal-hal atau kebiasaan-kebiasan yang dipandang menyalahi dan bertentangan dengan ajaran Islam, beliau rubah secara berangsur-angsur. Misalnya kepercayaan kepada Nyi Sri (Dewi Sri), membuat sesajen waktu motong padi atau waktu kenduri, dan sebagainya. Semua beliau berantas dengan penuh bijak sana.

Bahkan ada seseorang yang fanatic kepada adat pernah marah kepada beliau pada suatu pengajian umum dan menantang beliau untuk berlaga adu kekuatan. Namun beliau tidak menjawab, dan beliau hanya memberikan contoh-contoh dan penjelasan yang sangat bijaksana.

Dalam cara-cara ibadat pun yang dianggap perlu, terus beliau luruskan. Misalnya shalat berjama’ah Rabu wekasan (hari Rabu terakhir di bulan Sofar, ed), shalat berjama’ah nisfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban, ed) dan shalat mu’adah setelah shalat Jum’at. Demikian juga mengenai kebiasaan shalat tarawih bulan Ramadhan, beliau menegaskan supaya jangan terlampau cepat dan kebiasaan ramai-ramai sambil main-main harus dirubah. Pada khutbah Jum’at beliau terjemahkan dan diikuti oleh khatib lainnya. Beliau juga selalu menganjurkan untuk membiasakan shalat tahajud, maka di Masjid Jamie An-Nur sampai sekarang biasa dilakukan adzan awal sebelum shubuh, sekalipun di masjid lain belum biasa.

Itulah ketekunan dan kesabaran beliau membangun Pesantren ini. Sejak beliau mengajar di Masjid yang telah reyot, dengan memakai alat tulis jarangking (gaplek) sebagai pengganti kapur tulis, sementara yang dijadikan papan tulisnya adalah pintu. Beberapa lama kemudian, untuk membuat papan tulis, beliau bersama saudaranya (penulis, M. Thaha, IHA Syarifuddin dan O. Sambas) mengambil kayu dadap dari daerah Bakom Malangbong. Kayu tersebut diolah sendiri sama beliau, sedang yang dijadikan catnya terbuat dari racikan arang, daun papaya dan minyak tanah. Kemudian secara berangsur-angsur beliau membuat pondok sederhana, Madrasah Diniyah/Ibtidaiyah dan Majelis Ta’lim.

Setelah banyak guru yang membantu, maka dibangunlah Pesantren system terpadu. Pada malam hari para santri belajar di Pondok, siang hari belajar di Madrasah (MTs/PGA). Beliau sendiri aktif mengajar langsung baik di Pondok maupun di Madrasah (PGA), bahkan waktu itu para pelajar PGA diwajibkan tinggal di Asrama (Pondok). Pada tahun 1970 para santri ikut ujian Negara PGAA Negeri di Garut, dan lulus 100 %.

Kendatipun kehidupan ekonomi waktu itu sangat sulit (krisis ekonomi), namun beliau tidak pernah putus asa dan tidak tergoda dengan tawaran kedudukan atau kekayaan. Misalnya, pada tahun 50-an, pernah beliau ditawari menjadi Kepala Inpeksi Pendidikan Agama Kabupaten Purwakarta, namun beliau tolak. Setelah itu, pernah pula ketika beliau bersama penulis shilaturrahim ke Majalengka, beliau ditawari sebidang tanah (disuruh pindah) ke daerah tersebut dan segala fasilitas akan disediakan. Namun beliau tidak mau, karena beliau sangat menghormati yang menyuruh menunggui Masjid di Karanganyar (Ibunya). Beliau sangat hormat kepada Ibu, hatta sebelum  bepergian ke manapun, beliau selalu minta izin dan do’anya kepada Ibu.

Sungguhpun demikian, kepada adik-adik beliau yang laki-laki (termasuk kepada penulis), beliau menyuruh bekerja menjadi guru dinas (Pegawai Negeri). Selain untuk mencari nafkah, beliau amanat bahwa penulis harus bekerja tetapi ingat: “Jangan mencari ‘karir’ di Pemerintahan, tetapi dengan maksud untuk mencari pengalaman sebagai bekal untuk kemajuan kita, meneruskan perjuangan orang tua”.

Selain daripada itu, untuk mengetahui pengalaman/perbandingan dari lembaga pendidikan yang telah dipandang maju, beliau tidak menutup diri. Sehingga pada tahun 1964, beliau pernah mengutus penulis untuk meninjau ke Pondok Pesantren Modern Darusslam Gontor Ponorogo Jawa Timur, untuk meningkatkan administrasi, penerapan disiplin, shalat berjama’ah, penerapan bahasa Arab dan sebagainya.


KETEGUHAN DALAM PENDIRIAN, KEULETAN, DAN KESABARANNYA

Sekalipun banyak alim ulama yang meninggalkan kampong (Pesantren) untuk ikut dalam gerakan Darul Islam di gunung, beliau tidak mau pergi meninggalkan Pesantren, sekalipun pernah dijemput oleh gurunya dari daerah Sumedang. Beliau memberikan jawaban; “Tujuan kita sama, tetapi caranya berbeda”. Padahal beliau pernah menjabat sebagai Kepala Penerangan DI untuk wilayah Malangbong Selatan. Pilihan beliau untuk tidak ikut-ikutan masuk hutan juga didasarkan kepada Al-Qur’an Surat al-Taubah [9]: 122 yang berbunyi:

 “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.

Beliau bergeming, tidak mau meninggalkan Pesantren. Beliau tetap istiqamah dan bersabar dengan penuh bijaksana dan keuletan mampu  menyikapi keadaan  yang kehidupan social politik yang serba sulit waktu itu. Hanya pada situasi sangat genting sekali karena sering dicari-cari orang Belanda, beliau pernah mengungsi di Cipaganti Bandung bersama paman (Raden Anwar Barjah) dari Bojong. Namun tidak lama di pengungsian, karena beliau disuruh oleh ibu harus segera pulang, dan penulis sendiri yang menjemputnya ke Bandung. Karena beliau sangat taat kepada Ibu, sekalipun dirasakan sangat berat, beliau pulang untuk membangun pesantren ini. Maka ketika Ibu wafat tahun 1980, Ibu insya Allah merasa bahagia, karena amanatnya selalui ditaati oleh putera terbesarnya. Karena dengan washilah beliau selaku Pimpinan Pesantren juga berhasil membimbing adik-adiknya, anak-anaknya serta keponakannya dengan tekun,  sabar dan  bijaksana, yang kemudian hasil binaan beliau didorong untuk bersama-sama membantu beliau membina Pesantren ini dengan penuh keikhlasan dan penuh rasa tanggung jawab.

Kesabaran beliau dalam menghadapi segala cobaan hendaknya patut diteladani. Selain tekanan ekonomi yang tidak menguntungka, kadang cobaan dan tantangan datang dari teman seperjuangannya. Kalau ada yang mencaci maki, beliau balas dengan senyuman. Kalau ada yang menjauhi, beliau balas dengan silaturrahim. Beliau tegas dalam mempertahankan prinsif, namun beliau moderat dan toleran dalam masalah-masalah furu’iyah atau kemasyarakatan.

Keistimewaan dalam aspek ubudiyahnya, yang penulis tahu sejak  beliau muda, beliau sangat mengutamakan bangun malam (shalat tahajud) dan wirid al-Qur’an. Hal ini sering beliau wanti-wanti kepada para guru, para orang tua dan para santri tentang pentingnya shalat berjama’ah dan shalat tahajud tersebut. Keteguhan beliau dalam bidang ini, pernah pada masa awal kemerdekaan, karena pimpinan rapat organisasi melalaikan shalat, beliau mengancam akan keluar dari organisasi tersebut bila Pimpinan Rapat melalaikan shalat. Akhirnya Pimpinan Rapat  tunduk kepada beliau.


CITA-CITA NAIK HAJI

Sekitar tahun 80-an, beliau bercita-cita untuk dapat melaksanakan ibadah haji, namun Allah Subhanahu wa Ta’alaa belum segera mentaqdirkannya. Sekalipun ada tanah yang akan dijual (untuk ongkos keberangkatan haji tersebut), namun gagal lagi gagal lagi. Akhirnya beliau mendapat rezeki yang tidak disangka-sangka sebelumnya, sehingga pada tahun 1982 beliau terlaksana naik haji  bersama isteri dan anak laki-laki kedua (K.H.Deden Muhammad Ilyas, BA, S.Pdi). Menurut rencananya, anaknya tersebut supaya mukim (belajar) di Makkah, namun karena kondisi kesehatannya kurang mengizinkan, hal ini tidak terlaksana.

Sebelum beliau naik haji, beliau berbicara kepada anak-anaknya supaya jangan ada yang iri hati kepada Deden dibawa ke tanah suci, karena ia yang sangat diharapkan untuk menjadi penerus beliau di Pesantren.

Sekembalinya beliau dari Makkah, kegiatan beliau yang langsung mengajar dikurangi dan mengaktifkan putera penerusnya tersebut bersama menantu beliau yang sejak lama membantunya  membina (mengajar) di Pesantren (K. Atang Jamaluddin).


SAAT-SAAT AKHIR HAYATNYA 

Dalam keadaan fisik beliau yang semakin melemah dan sering sakit-sakitan, semangat untuk membangun tetap nampak untuk dicontoh generasi penerusnya. Bangunan yang terakhir beliau bangun dan beliau tinggalkan adalah Mushala An-Nur di komplek MTs/MA/Asrama Puteri yang peruntukan kegiatan ibadah shalat warga Asrama Puteri, para santri/pelajar MTs/MA serta warga sekitar. Dan terakhir sekali beliau mengusahakan membeli tanah di lokasi Andir Desa Campaka (Gerbang menuju Pesantren) dengan para pengumpul dana Bapak H. Sirod Krisubanu, SH (alm), Bapak H. Syarif Hidayat (alm), Bapak Agus Syamsuddin (alm), Bapak Ade Saefuddin dan Bapak Aang Ali Muhammad.

Penulis masih ingat ketika akan serah terima tanah tersebut. Karena beliau sedang dalam keadaan sakit dan baring di tempat tidur. Semula serah terima akan dilakukan di tempat lain (diwakili) supaya tidak mengganggu beliau. Tetapi beliau tetap berkeinginan menyaksikan langsung serah terima tanah tersebut. Bahkan beliau masih sempat memaksakan berbicara pada acara serah terima tersebut.

Itulah himmah beliau terhadap lembaga pendidikan ini yang harus kita contoh sampai akhir zaman. Akhirnya, walaupun kita keluarga hanya berkeinginan untuk terus dalam bimbingan beliau, namun Allah lah yang menentukan segalanya. Beliau berpulang kepangkuan-Nya pada hari Rabu tanggal 18 Ramadhan 1419 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 6 Januari 1999 Miladiyah pukul 17.25 WIB. Inna lillahi wa inna ilaiyhi raaji’uun (sesungguhnya kita semua milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya kita akan kembali).


PENUTUP

Catatan  ini sumbernya dari penulis sendiri yang selalu dekat dan mendampingi beliau. Bahkan pada masa awal beliau mukim di Karanganyar, penulis pernah serumah dengan beliau. Untuk membantu beliau, di dapur, di sawah, di kebun dan sebagainya. Maka banyak cerita-cerita beliau yang penulis dengan langsung atau akhlak beliau yang penulis saksikan langsung. Pada tahun 1947, penulis pun membantu beliau mengajar di madrasah Diniyah, juga berdasarkan cerita-cerita dari kakak-kakak penulis yang masih ada.

Selanjutnya, penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kelemahan penulis dalam menyusun catatan singkat ini, tiada lain penulis mohon ma’af yang sebesar-besarnya dari semua pembaca catatan ini. Dan terima kasih bila ada pihak keluarga yang ingin menyempurnakannya.

Dan kesan penulis selanjutnya, sebagaimana telah dikemukakan pada mukoddimah, “Tiada maksud melebih-lebihkan sesorang tanpa batas” atau “Agul ku paying butut”, namun harapan penulis ingin melestarikan kebaikan-kebaikan orang tua kita sampai akhir zaman.

Marilah kita berdo’a, bila ada kekeliruan beliau, semoga diampuni Allah Subhanahu wa Ta’alaa, dan jasa baiknya semoga diterima di sisi-Nya. Amin ya rabbal ‘alamiin.

Dan yang lebih penting dari itu, marilah kita bercermin kepada segala jejak langkah beliau, agar kita bisa meneruskan langkah dan pendirian istiqamah untuk melestarikan dan mengestafetkan “An-Nur” sampai akhir zaman.

Insya Allah, dengan bercermin kepada keshalihan Orang Tua yang telah mendahului kita, kita pun ingin berbuat kesalihan seperti Orang Tua dan harus mengikhtiarkan kesalihan itu di mana saja kita berada. Karena kita akan meraih kemaslahatan, kedamaian dan kebahagiaan di mana saja kita berada. Karena kita tidak akan dapat meraih kemaslahatan, kedamaian dan kebahagiaan yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’alaa.tanpa memperhatikan dan mencontoh jejak langkah orang shalih pendahulu kita, sebagaimana yang dikatakan salah seorang Imam Mujtahidin:

لا يصلح ا خر هذ ه الا مة الا بما صلح به اولها

Wallahu ‘alam bish shawaab.

“Selamat berjuang, selamat menghidupkan Izzul Islam wal Muslimin An-Nur ini”, khususnya kepada keluarga besar K.H. Muhammad Jalaluddin, dan umumnya kepada segenap kaum muslimin.

 

Karanganyar, Syawal 1436 H.

Agustus 2015 M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung di blog sederhana ini.
Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.
Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.